Selasa, 16 April 2013

SEBUAH GAGASAN YANG KIAN MENJADI NYATA



MENUJU PROVINSI FLORES


Era reformasi yang ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang dianggap lebih mudah dari pada waktu sebelumnya. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi (lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya daerah otonom baru. Di mana kemudian di ubah dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sangat sulit bagi pemerintah untuk membendung pemekaran suatu daerah. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 yang merupakan pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 129 tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, maka langkah bagi suatu daerah utuk memekarkan semakin terbuka lebar. Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai daerah otonom yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Konsekuensi diterapkannya undang-undang otonomi daerah tersebut melahirkan kompleksitas persoalan yang luar biasa di sejumlah daerah. Hal tersebut dapat di lihat dari munculnya berbagai dinamika politik lokal yang terjadi di berbagai daerah. Salah satu persoalan yang muncul adalah maraknya wacana pemekaran daerah yang terjadi baik di tingkatan provinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Pada hakekatnya pembentukan, penggabungan dan penghapusan daerah bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik agar lebih optimal, memperpendek rentang kendali, dan mempercepat kesejahteraan masyarakat dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, problematika dan discourse tentang usulan Pembentukan Provinsi Flores merupakan respon dari beragam persoalan yang terjadi di NTT saat ini.
Setidaknya ada tiga pintu usulan pemekaran, yaitu melalui Kemdagri (jalur normatif), DPR dan DPD. Jalur normatif yang dimaksud memuat ketentuan dan persyaratan yang harus dilengkapi oleh setiap daerah yang menghendaki pembentukan daerah otonom baru yang terdiri dari 3 (tiga) persyaratan, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan seperti yang tercantum dalam PP. No. 78/2007.
Pembentukan Daerah
Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Pemekaran wilayah adalah suatu proses pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih sedangkan penggabungan daerah bisa berupa penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda atau penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3). Ada perbedaan yang sangat mendasar antara proses pemekaran wilayah dan proses pengggabungan daerah. Dalam konteks perjuangan menuju provinsi Flores yang sedang di rintis adalah termasuk kedalam kategori “pemekaran wilayah”. Dalam PP.No.78/2007 Pasal 15 huruf c secara implisit dapat dipahami bahwa jika pembentukan menggunakan “jalur pemekaran”, maka setiap bupati/wali kota cakupan calon wilayah provinsi dalam hal pengambilan keputusannya wajib didasari oleh kajian daerah, tetapi apabila yang digunakan adalah “jalur penggabungan”, maka setiap bupati/wali kota cakupan calon wilayah provinsi dalam hal pengambilan keputusannya tidak didasari oleh kajian daerah.
Kajian Daerah
Kajian daerah adalah kajian provinsi dan kabupaten/kota yang secara legalistik formal disusun oleh Tim yang dibentuk oleh kepala daerah untuk menilai kelayakan pembentukan daerah secara obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap faktor-faktor teknis yang dilengkapi dengan penilaian kualitatif terhadap faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri.
Faktor-faktor teknis yang dimaksud adalah penilaian terhadap 11 (sebelas) faktor yang terdiri dari 35 (tiga puluh lima) indikator seperti yang tercantum dalam lampiran PP.No.78/2007. Faktor teknis tersebut mencakup kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, social politik, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah. Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan  pemerintahan.
Peran DPRD Kab/Kota
Peran legislatif (DPRD) dan eksekutif (bupati/walikota) dalam konteks pembentukan daerah (pengabungan atau pemekaran) adalah sangat dominan. Hal ini disebabkan karena keputusannya dapat dijadikan sebagai penentu dari sebuah proses pemenuhan persyaratan administratif, walau yang dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusannya (antara legislatif dan eksekutif) adalah berbeda. Dalam konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diharapkan dapat berperan sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengontrol (controlling agency) dan sebagai mediator antara eksekutif dengan masyarakat sekitar yang dituntut mempunyai kemampuan leadership skill & managerial skill yang cukup sehingga dapat membuka diri terhadap konsep-konsep alternatif dan platform opini berbeda yang mengandung esensi faktual, objektif dan konstruktif dalam menyerap, menampung dan menyalurkan aspirasi dari masyarakatnya dalam rangka optimalisasi tugas, peran dan fungsinya.
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam PP. No.78/2007 Pasal 2 ayat (3) huruf a diawali dengan adanya aspirasi sebagian besar masyarakat setempat. Aspirasi yang dimaksud adalah aspirasi yang disampaikan secara tertulis yang dituangkan kedalam Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi yang akan dimekarkan.
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3 (dua pertiga) dari jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing wilayah yang akan menjadi cakupan wilayah calon, provinsi. Intersubjektif tentang pemahaman tersebut adalah bahwa dalam hal pengambilan keputusannya, DPRD tidak didasari atas kajian daerah tetapi hanya pemeriksaan kelengkapan administrasi dan keabsahan dari keputusan BPD atau nama lain dan Keputusan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain apakah sesuai dengan aspirasi sebagian besar masyarakat atau tidak. Keputusan BPD inilah yang dijadikan dasar bagi DPRD untuk mengambil keputusan dan dijadikan sebagai lampiran yang tak terpisahkan. Hal ini diperjelas pula dalam Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa hasil keputusan BPD tersebut ditindaklanjuti oleh DPRD kabupaten/kota untuk dibahas dalam rapat paripurna untuk menentukan apakah disetujui atau tidak.
Surat keputusan DPRD ini merupakan kelengkapan persyaratan administratif (syarat pertama) yang wajib dipenuhi oleh setiap daerah yang menghendaki pembentukan, penggabungan atau penghapusan daerah. Hasil keputusan DPRD kab/kota tersebut akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan DPRD Provinsi induk setelah melalui pembahasan rapat paripurna.
Peran Bupati/Walikota
Dalam sistem pemerintahan yang menganut paham demokrasi Pancasila, pemimpin bukanlah orang yang mendapatkan “wasiat” untuk disakralkan, tetapi dituntut untuk berpikir dan bertindak (in term of generations) serta diharapkan dapat mengubah paradigma pemahaman (intersubjektif) dari seseorang yang mempunyai hak-hak istimewa (privillege) atau harus dilayani menjadi orang yang akan melayani masyarakatnya, sehingga diharapkan dapat terbentuk sebuah pemerintahan yang baik (good organization) dengan sistem pemerintahan yang bersih (clean organization) dan berwibawa dalam kerangka well-managed organization serta mampu me-review implikasi dan interlinkage melalui konsep kebijakan yang akan diputuskan.
Dalam konteks pemekaran wilayah, maka bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota yang didasarkan atas hasil kajian daerah”. Kajian daerah yang dimaksud tertuang dalam pasal 14 huruf c dan merupakan persyaratan teknis seperti yang telah dipaparkan di atas. Apabila keputusan masing-masing bupati/walikota cakupan calon provinsi terpenuhi, maka harus ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota tentang persetujuan pembentukan calon provinsi dan disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan (1) Dokumen aspirasi masyarakat, (2) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota.
Peran Gubernur dan DPRD Provinsi
Dalam hal ini gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, maka usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi untuk dipinta persetujuannya. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, maka gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan melampirkan (1) Hasil kajian daerah, (2) Peta wilayah calon provinsi (3) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota,dan (4) Keputusan DPRD provinsi.
Peran Mendagri dan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
Mendagri membentuk tim untuk melakukan penelitian tehadap usulan pembentukan provinsi dan menyampaikan rekomendasi usulan pembentukan daerah ke Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang ditindak lanjuti ke Presiden oleh Mendagri.
DPOD dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 28/2005 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah. Susunan keanggotaan DPOD terdiri atas Menteri Dalam Negeri (selaku ketua), Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak Azasi Manuisa, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menterei Negara Perencanaan Pembangunan/KBPPN, Sekretaris Kabinet, Perwakilan Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), dan 3 (tiga) orang Pakar Otonomi Daerah dan Keuangan dengan masa tugas anggota selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. Jika dalam hal DPOD  memandang perlu melakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, maka DPOD menugaskan Tim Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian. Berdasarkan hasil klarifikasi dan penelitian itulah DPOD akan bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah.
Mendagri menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan DPOD. Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah, maka Mendagri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah. Setelah undang-undang pembentukan daerah (statuta) diundangkan, maka pemerintah wajib melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah.
Penutup
Dalam pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga tujuan pembentukan daerah dapat terwujud, dengan demikian dalam usulan pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Pembentukan daerah otonom baru harus didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan daerah untuk dapat tumbuh dan berkembang menjadi daerah otonom yang mandiri dan maju, bukan hanya didasarkan atas keinginan sesaat. Oleh karena itu, dalam pembahasan pembentukan daerah otonom baru selain mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, juga harus secara obyektif melihat potensi dan kemampuan daerah tersebut untuk bisa berkembang dan menjadi daerah yang maju. Daerah otonom baru yang dimaksud bukanlah sebuah pemerintahan yang tanpa makna, irasional, emosional dan oportunistik, tetapi harus tumbuh, berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat, mewujudkan keadilan sosial dan dapat memberikan rasa aman, kepastian hukum, efektifitas dan efisiensi tugas pemerintahan daerah serta memberikan kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan segala potensi yang dimiliki, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM) yang tersebar di Wilayah Flores, Lembata, serta Alor dan didukung oleh kemampuan leadership skill serta manajerial skill yang handal, maka “ Flores sangat layak untuk dijadikan sebuah provinsi TERDEPAN, BERKARAKTER, DAN VISIONER”,.. Semoga,.. Amin .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar