MENUJU
PROVINSI FLORES
Era reformasi yang
ditandai dengan meningkatnya tuntutan untuk melakukan pemekaran daerah berjalan
seiring dengan regulasi pembentukan daerah otonom baru yang dianggap lebih mudah
dari pada waktu sebelumnya. Dimotivasi oleh percepatan pertumbuhan demokrasi
(lokal), UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah jo PP Nomor 129
Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan
dan Penggabungan Daerah memang memberikan ruang yang lebih leluasa bagi terbentuknya
daerah otonom baru. Di mana kemudian di ubah dengan Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka sangat sulit bagi pemerintah untuk
membendung pemekaran suatu daerah. Apalagi setelah dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 78 tahun 2007 yang merupakan pengganti Peraturan Pemerintah
Nomor 129 tahun 2000 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan dan
Penggabungan Daerah, maka langkah bagi suatu daerah utuk memekarkan semakin
terbuka lebar. Pembentukan daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu
sebagai daerah otonom yang merupakan satu kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Konsekuensi
diterapkannya undang-undang otonomi daerah tersebut melahirkan kompleksitas persoalan yang luar biasa
di sejumlah daerah. Hal tersebut dapat di lihat dari munculnya berbagai
dinamika politik lokal yang terjadi di berbagai daerah. Salah satu persoalan
yang muncul adalah maraknya wacana pemekaran daerah yang terjadi baik di
tingkatan provinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Pada hakekatnya
pembentukan, penggabungan dan penghapusan daerah bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan publik agar lebih optimal, memperpendek rentang kendali, dan
mempercepat kesejahteraan masyarakat dalam memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Oleh karena itu, problematika
dan discourse tentang usulan
Pembentukan Provinsi Flores merupakan respon dari beragam persoalan yang
terjadi di NTT saat ini.
Setidaknya
ada tiga pintu usulan pemekaran, yaitu melalui Kemdagri (jalur normatif), DPR
dan DPD. Jalur normatif yang dimaksud memuat ketentuan dan persyaratan yang
harus dilengkapi oleh setiap daerah yang menghendaki pembentukan daerah otonom
baru yang terdiri dari 3 (tiga) persyaratan, yaitu administratif, teknis, dan fisik
kewilayahan seperti yang tercantum dalam PP. No. 78/2007.
Pembentukan Daerah
Pembentukan
daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang
bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
Pemekaran wilayah adalah suatu proses pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi
2 (dua) provinsi atau lebih sedangkan penggabungan daerah bisa berupa
penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi
yang berbeda atau penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi
seperti yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat (3). Ada perbedaan yang sangat
mendasar antara proses pemekaran wilayah dan proses pengggabungan daerah. Dalam
konteks perjuangan menuju provinsi Flores yang sedang di rintis adalah termasuk
kedalam kategori “pemekaran wilayah”. Dalam PP.No.78/2007 Pasal 15 huruf c
secara implisit dapat dipahami bahwa
jika pembentukan menggunakan “jalur pemekaran”, maka setiap bupati/wali kota
cakupan calon wilayah provinsi dalam hal pengambilan keputusannya wajib
didasari oleh kajian daerah, tetapi apabila yang digunakan adalah “jalur
penggabungan”, maka setiap bupati/wali kota cakupan calon wilayah provinsi
dalam hal pengambilan keputusannya tidak didasari oleh kajian daerah.
Kajian Daerah
Kajian
daerah adalah kajian provinsi dan kabupaten/kota yang secara legalistik formal
disusun oleh Tim yang dibentuk oleh kepala daerah untuk menilai kelayakan
pembentukan daerah secara obyektif yang memuat penilaian kuantitatif terhadap
faktor-faktor teknis yang dilengkapi dengan penilaian kualitatif terhadap
faktor lainnya yang memiliki karakteristik tersendiri.
Faktor-faktor
teknis yang dimaksud adalah penilaian terhadap 11 (sebelas) faktor yang terdiri
dari 35 (tiga puluh lima) indikator seperti yang tercantum dalam lampiran
PP.No.78/2007. Faktor teknis tersebut mencakup kependudukan, kemampuan ekonomi,
potensi daerah, sosial budaya, social politik, luas daerah, pertahanan,
keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Adapun faktor lain tersebut meliputi pertimbangan kemampuan keuangan, tingkat
kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan.
Peran DPRD Kab/Kota
Peran
legislatif (DPRD) dan eksekutif (bupati/walikota) dalam konteks pembentukan
daerah (pengabungan atau pemekaran) adalah sangat dominan. Hal ini disebabkan
karena keputusannya dapat dijadikan sebagai penentu dari sebuah proses
pemenuhan persyaratan administratif, walau yang dijadikan sebagai dasar
pengambilan keputusannya (antara legislatif dan eksekutif) adalah berbeda. Dalam
konteks ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diharapkan dapat berperan
sebagai pemberi pertimbangan (advisory
agency), pendukung (supporting agency),
pengontrol (controlling agency) dan
sebagai mediator antara eksekutif dengan masyarakat sekitar yang dituntut
mempunyai kemampuan leadership skill
& managerial skill yang cukup sehingga dapat membuka diri terhadap
konsep-konsep alternatif dan platform
opini berbeda yang mengandung esensi faktual,
objektif dan konstruktif dalam menyerap, menampung dan menyalurkan aspirasi dari
masyarakatnya dalam rangka optimalisasi tugas, peran dan fungsinya.
Pembentukan
daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam PP. No.78/2007 Pasal 2 ayat (3)
huruf a diawali dengan adanya aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.
Aspirasi yang dimaksud adalah aspirasi yang disampaikan secara tertulis yang
dituangkan kedalam Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau
nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah
provinsi yang akan dimekarkan.
Keputusan
tersebut ditandatangani oleh Ketua BPD dan Ketua Forum Komunikasi Kelurahan
atau nama lain. Jumlah keputusan Badan Permusyawaratan Desa atau nama lain dan
Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain tersebut harus mencapai lebih 2/3
(dua pertiga) dari jumlah Badan atau Forum tersebut yang ada di masing-masing
wilayah yang akan menjadi cakupan wilayah calon, provinsi. Intersubjektif tentang pemahaman tersebut adalah bahwa dalam hal
pengambilan keputusannya, DPRD tidak didasari atas kajian daerah tetapi hanya
pemeriksaan kelengkapan administrasi dan keabsahan dari keputusan BPD atau nama
lain dan Keputusan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain apakah sesuai
dengan aspirasi sebagian besar masyarakat atau tidak. Keputusan BPD inilah yang
dijadikan dasar bagi DPRD untuk mengambil keputusan dan dijadikan sebagai
lampiran yang tak terpisahkan. Hal ini diperjelas pula dalam Pasal 5 ayat (1)
yang menyebutkan bahwa hasil keputusan BPD tersebut ditindaklanjuti oleh DPRD
kabupaten/kota untuk dibahas dalam rapat paripurna untuk menentukan apakah
disetujui atau tidak.
Surat
keputusan DPRD ini merupakan kelengkapan persyaratan administratif (syarat
pertama) yang wajib dipenuhi oleh setiap daerah yang menghendaki pembentukan,
penggabungan atau penghapusan daerah. Hasil keputusan DPRD kab/kota tersebut
akan dijadikan sebagai dasar pertimbangan dikeluarkannya keputusan DPRD
Provinsi induk setelah melalui pembahasan rapat paripurna.
Peran Bupati/Walikota
Dalam
sistem pemerintahan yang menganut paham demokrasi Pancasila, pemimpin bukanlah
orang yang mendapatkan “wasiat” untuk disakralkan, tetapi dituntut untuk
berpikir dan bertindak (in term of
generations) serta diharapkan dapat mengubah paradigma pemahaman (intersubjektif) dari seseorang yang
mempunyai hak-hak istimewa (privillege)
atau harus dilayani menjadi orang yang akan melayani masyarakatnya, sehingga
diharapkan dapat terbentuk sebuah pemerintahan yang baik (good organization) dengan sistem pemerintahan yang bersih (clean organization) dan berwibawa dalam
kerangka well-managed organization serta
mampu me-review implikasi dan interlinkage melalui konsep kebijakan
yang akan diputuskan.
Dalam
konteks pemekaran wilayah, maka bupati/walikota dapat memutuskan untuk
menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3)
huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota yang didasarkan atas hasil
kajian daerah”. Kajian daerah yang dimaksud tertuang dalam pasal 14 huruf c dan
merupakan persyaratan teknis seperti yang telah dipaparkan di atas. Apabila
keputusan masing-masing bupati/walikota cakupan calon provinsi terpenuhi, maka
harus ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota tentang persetujuan
pembentukan calon provinsi dan disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan
(1) Dokumen aspirasi masyarakat, (2) Keputusan DPRD kabupaten/kota dan
keputusan bupati/walikota.
Peran Gubernur dan DPRD Provinsi
Dalam
hal ini gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang
diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, maka usulan
pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi
untuk dipinta persetujuannya. Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD
provinsi, maka gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dengan melampirkan (1) Hasil
kajian daerah, (2) Peta wilayah calon provinsi (3) Keputusan DPRD
kabupaten/kota dan keputusan bupati/walikota,dan (4) Keputusan DPRD provinsi.
Peran Mendagri dan Dewan
Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD)
Mendagri
membentuk tim untuk melakukan penelitian tehadap usulan pembentukan provinsi
dan menyampaikan rekomendasi usulan pembentukan daerah ke Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah (DPOD) yang ditindak lanjuti ke Presiden oleh Mendagri.
DPOD
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No. 28/2005 tentang Dewan Pertimbangan
Otonomi Daerah. Susunan keanggotaan DPOD terdiri atas Menteri Dalam Negeri
(selaku ketua), Menteri Keuangan, Menteri Pertahanan, Menteri Hukum dan Hak
Azasi Manuisa, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi, Menterei Negara Perencanaan Pembangunan/KBPPN, Sekretaris
Kabinet, Perwakilan Pemerintah Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota), dan 3
(tiga) orang Pakar Otonomi Daerah dan Keuangan dengan masa tugas anggota selama
2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang. Jika dalam hal DPOD memandang perlu melakukan klarifikasi dan
penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, maka DPOD menugaskan Tim
Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian. Berdasarkan hasil
klarifikasi dan penelitian itulah DPOD akan bersidang untuk memberikan saran
dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah.
Mendagri
menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran
dan pertimbangan DPOD. Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah,
maka Mendagri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah.
Setelah undang-undang pembentukan daerah (statuta) diundangkan, maka pemerintah
wajib melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah paling
lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan
daerah.
Penutup
Dalam
pembentukan daerah, tidak boleh mengakibatkan daerah induk menjadi tidak mampu
menyelenggarakan otonomi daerah, dengan demikian baik daerah yang dibentuk
maupun daerah induknya harus mampu menyelenggarakan otonomi daerah, sehingga
tujuan pembentukan daerah dapat terwujud, dengan demikian dalam usulan
pembentukan dilengkapi dengan kajian daerah. Pembentukan daerah otonom baru
harus didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan daerah untuk dapat tumbuh dan
berkembang menjadi daerah otonom yang mandiri dan maju, bukan hanya didasarkan
atas keinginan sesaat. Oleh karena itu, dalam pembahasan pembentukan daerah
otonom baru selain mengacu pada peraturan perundang-undangan yang ada, juga
harus secara obyektif melihat potensi dan kemampuan daerah tersebut untuk bisa
berkembang dan menjadi daerah yang maju. Daerah otonom baru yang dimaksud
bukanlah sebuah pemerintahan yang tanpa makna, irasional, emosional dan oportunistik, tetapi harus tumbuh,
berkembang dan mampu menyelenggarakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan
pelayanan publik yang optimal guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat, mewujudkan keadilan sosial dan dapat memberikan rasa aman,
kepastian hukum, efektifitas dan efisiensi tugas pemerintahan daerah serta memberikan
kemampuan dalam pemanfaatan potensi daerah dalam penyelenggaraan otonomi daerah
dalam rangka memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan
segala potensi yang dimiliki, baik Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya
Manusia (SDM) yang tersebar di Wilayah Flores, Lembata, serta Alor dan didukung
oleh kemampuan leadership skill serta
manajerial skill yang handal, maka “
Flores sangat layak untuk dijadikan sebuah provinsi TERDEPAN, BERKARAKTER, DAN VISIONER”,.. Semoga,.. Amin .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar