James N. Anderson
Pengantar
Pengantar
Apa yang disebut sebagai ‘problem of induction’ (masalah induksi) adalah salah sebuah masalah epistemiologi yang tidak pernah selesai. Sejak pertama kali diangkat oleh David Hume pada abad ke-18, banyak filsuf yang begumul dengan tantangan Hume tersebut dan menghasilkan berbagai upaya kreatif untuk menyelesaikan (atau melenyapkan) masalah ini.
Masalah mendasarnya dapat diringkas
sebagai berikut. Misalkan kita mengamati sejumlah besar obyek yang memiliki
sifat A dan mendapati bahwa semua obyek tersebut juga memiliki sifat B; secara
alamiah kita akan menyimpulkan bahwa semua obyek yang memiliki A juga memiliki
B — termasuk obyek-obyek yang kita belum pernah amati (atau tidak dapat kita
amati). Pertanyaan yang diangkat oleh Hume adalah: Apa justifikasi rasional
terhadap inferensi (kesimpulan) seperti itu? Secara lebih umum dapat diringkas,
apa alasan untuk percaya bahwa kesimpulan kita tentang hal-hal yang teramati
dapat diperluas (dengan probabilitas) untuk mencakup hal-hal yang tidak
teramati? Pertanyaan dasar tersebut seringkali diformulasikan menggunakan
kerangka temporal/waktu sebagai berikut: Apa alasan yang kita miliki untuk
percaya bahwa kita dapat mengambil kesimpulan yang dapat diandalkan tentang
hal-hal yang terjadi di masa depan (tidak teramati) berdasarkan hal-hal yang
terjadi di masa lampau (teramati)?
Sayangnya kesimpulan Hume adalah
kita tidak tidak memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa bahwa kesimpulan
induktif memiliki justifikasi. Jadi, masalah induksi adalah bagaimana memberi
jawaban terhadap Hume dengan mengemukakan alasan yang kuat untuk mempercayai
bahwa “prinsip induksi” (yaitu prinsip yang mengatakan bahwa hal-hal di masa
depan yang tidak teramati menyerupai hal-hal di masa lampau yang sudah
teramati) benar. Jawaban tersebut sangat dibutuhkan karena sebagian besar riset
ilmiah didasarkan pada penalaran induktif — demikian pula kesimpulan yang kita
ambil tiap hari tentang apa yang kita pikir akan terjadi di dunia.
Dalam tulisan ini akan meringkas
upaya yang paling signifikan untuk menyelesaikan masalah induksi dari
perspektif sekuler; yaitu tanpa memperkenalkan tema-tema ‘religius’ seperti
rancangan ilahi atau pewahyuan. Secara ringkas saya juga akan menjelaskan
mengapa setiap upaya ini tidak menyelesaikan masalah.
Tanggapan Induktif yang Naif Sebelum membahas tanggapan yang
rumit/canggih, sebagai bahan pembelajaran, kita akan membahas tanggapan populer
terhadap pertanyaan Hume. Pada saat ditanyakan, “Apa alasan kita untuk
berpandangan bahwa prinsip induktif benar?”, kebanyakan orang yang tidak
menggumuli hal ini akan menjawab kira-kira seperti ini, “Karena telah terbukti
benar di masa lampau.” Rincian penalaran dari tanggapan seperti itu dapat digambarkan
demikian. Saat kita memiliki hal-hal yang terjadi di masa lampau yang kita
telah amati dan mengambil kesimpulan (pada saat itu) tentang masa depan yang
tidak teramati, kesimpulan kita selalu terbukti benar lewat observasi langsung
(yaitu pada saat kita mengamati hal-hal yang sebelumnya tidak teramati). Karena
selama ini hal-hal yang tidak teramati ternyata mirip dengan hal-hal yang
termati, maka dengan yakin kita dapat menyimpulkan bahwa (sekurang-kurangnya
ada kemungkinan) bahwa semua hal yang tidak termati akan menyerupai hal-hal
yang teramati.
Masalah dengan jawaban ini, seperti
yang dengan susah payah ditunjukkan Hume adalah bahwa tanggapan ini merupakan
penalaran melingkar. Tanggapan ini sendiri merupakan penalaran induktif — yaitu
penalaran tentang masa depan berdasarkan masa lampau — dan karena itu sudah
menganggap sebagai benar hal yang ingin dibuktikan: yaitu prinsip induksi. Jadi
argumen ini menderita kesalahan penalaran melingkar. Seperti dengan ringkas dan
jelas diungkapkan oleh Hume: 1. Mengatakan bahwa [kesimpulan bahwa masa depan
akan sama dengan masa lampau] merupakan sesuatu yang eksperimental [yaitu
berdasarkan pengalaman] adalah penalaran melingkar. Karena semua kesimpulan
dari pengalaman didasarkan pada keyakinan bahwa masa depan akan menyerupai masa
lampau, dan bahwa kekuatan yang serupa akan digabung dan memiliki kualitas yang
sama. Jika andaikata ada kemungkinan perubahan dalam cara kerja alam, dan [apa
yang terjadi] di masa lampau tidak merupakan keharusan bagi masa depan, maka
segala pengalaman menjadi tidak berguna dan tidak akan menghasilkan inferensi
atau kesimpulan. Karena itu tidak mungkin argumen yang didasarkan pada
pengalaman membuktikan keserupaan antara masa lampau dan masa depan; karena
semua argumen [seperti] ini didasarkan pada anggapan adanya keserupaan itu. Tanggapan-Tanggapan Induktif yang
Rumit/Canggih: Will dan Black Walaupun sudah ada argumen dari Hume dan
ada persetujuan dari pemikir sekaliber Bertrand Russell,2 beberapa filsuf
berpendapat bahwa prinsip induktif dapat didukung secara induktif, yaitu bahwa
pengalaman masa lampau dapat bertindak sebagai bukti bagi kebenaran prinsip
induktif.
Frederick L. Will, misalnya berargumen bahwa masalah yang dikemukakan mengandung kesalahan ekuivokasi yang tersembunyi dari kata ‘masa depan’.3 Dia menyarankan bahwa pada saat berbicara tentang ‘hal-hal di masa depan’ kita harus membedakan antara ‘masa depan-1’, yang menunjuk pada kejadian dan hal tertentu yang pada saat ini merupakan masa depan tetapi yang secara berangsur-angsur menjadi masa lampau, dan ‘masa depan-2’, yang merupakan gambaran abstrak tentang porsi dari dunia yang dibatasi tempat dan waktu yang selalu “berada di luar garis masa kini yang terus bergerak”. (Pengertian yang kedua inilah yang dipakai pada saat kita bermain kata dengan mengatakan bahwa “hari esok tidak akan pernah tiba”.) Setelah melakukan pembedaan ini, Will berargumen bahwa Hume dan Russell pastilah menggunakan pengertian ‘masa depan-2’ pada saat mereka berkata bahwa kita tidak dapat mengetahui bahwa masa depan akan menyerupai masa lampau, karena kita terus-menerus melihat bukti bahwa hal-hal di ‘masa depan-1’ menyerupai hal-hal di masa lampau (yaitu saat hal-hal di ‘masa depan-1’ menjadi masa kini yang termati). Namun hal-hal di ‘masa depan-2’ secara definisi tidak dapat diamati sama sekali — dan kita tidak sama sekali mempermasalahkan kebenaran trivial tersebut.
Frederick L. Will, misalnya berargumen bahwa masalah yang dikemukakan mengandung kesalahan ekuivokasi yang tersembunyi dari kata ‘masa depan’.3 Dia menyarankan bahwa pada saat berbicara tentang ‘hal-hal di masa depan’ kita harus membedakan antara ‘masa depan-1’, yang menunjuk pada kejadian dan hal tertentu yang pada saat ini merupakan masa depan tetapi yang secara berangsur-angsur menjadi masa lampau, dan ‘masa depan-2’, yang merupakan gambaran abstrak tentang porsi dari dunia yang dibatasi tempat dan waktu yang selalu “berada di luar garis masa kini yang terus bergerak”. (Pengertian yang kedua inilah yang dipakai pada saat kita bermain kata dengan mengatakan bahwa “hari esok tidak akan pernah tiba”.) Setelah melakukan pembedaan ini, Will berargumen bahwa Hume dan Russell pastilah menggunakan pengertian ‘masa depan-2’ pada saat mereka berkata bahwa kita tidak dapat mengetahui bahwa masa depan akan menyerupai masa lampau, karena kita terus-menerus melihat bukti bahwa hal-hal di ‘masa depan-1’ menyerupai hal-hal di masa lampau (yaitu saat hal-hal di ‘masa depan-1’ menjadi masa kini yang termati). Namun hal-hal di ‘masa depan-2’ secara definisi tidak dapat diamati sama sekali — dan kita tidak sama sekali mempermasalahkan kebenaran trivial tersebut.
Masalah dengan tanggapan Will adalah
bahwa dia tidak tepat sasaran. Hal-hal di ‘masa depan-1’ tidak dapat menjadi
bukti bagi apapun kecuali hal-hal itu akhirnya teramati. Sedangkan isu yang
sebenarnya adalah ini: bagaimana kita tahu sebelum dilakukan pengamatan bahwa
setiap hal di ‘masa depan-1’ akan menyerupai hal-hal di masa lampau? Terlebih
lagi, masalah ini dapat diformulasi ulang tanpa merujuk pada istilah temporal
relatif seperti ‘masa depan’ sebagai berikut: untuk setiap waktu t, apa alasan
kita untuk berpikir/yakin pada saat t bahwa setiap hal di setiap waktu t+
(dimana t+ > t) menyerupai hal-hal di setiap waktu t− (dimana t− ≤ t)? Will
tidak memberikan jawaban sama sekali.
Filsuf lain seperti Max Black
berargumen bahwa tuduhan Hume akan penalaran melingkar dapat dipatahkan kalau
kita melihat bahwa pembenaran induktif terhadap inferensi induktif biasa
sebenarnya adalah argumen induktif tingkat kedua terhadap argumen induktif
tingkat pertama.4 Induksi yang diterapkan pada tingkat kedua (terhadap argumen)
berbeda dari yang diterapkan pada tingkat pertama (obyek-obyek di dunia),
sehingga tidak ada penalaran melingkar yang pantas ditolak. Lebih jauh lagi,
induksi tingkat kedua dapat dibenarkan melalui induksi tingkat tiga (yang
diterapkan pada argumen tingkat kedua), demikian selanjutnya sejauh diperlukan.
Walaupun kreatif, tanggapan ini tidak
memuaskan sama sekali. Seperti dicatat BonJour, tidak hanya tanggapan ini akan
mengakibatkan infinite regress atau regresi tidak terbatas (dimana justifikasi
yang sebenarnya terhadap induksi tingkat satu tertunda tanpa batas), namun juga
tidak tepat sasaran.5 Pertanyaan mendasar yang dikemukan Hume dan diulangi oleh
Russell adalah apakah premis dalam penalaran induktif bisa menjamin [kebenaran]
kesimpulannya, apapun pokok yang dibahas dalam argumen. Jadi, tanggapan Black
jelas gagal mengelakkan tuduhan penalaran akan adanya penalaran melingkar.
Solusi Popper Dalam bukunya Objective Knowledge,
Karl Popper menulis, “Saya mungkin salah; tetapi saya pikir saya telah
memecahkan masalah filsafat utama: masalah induksi.”6 Popper memang salah —
setidaknya dia salah kalau kita memahami bahwa dia merujuk pada masalah yang
dikemukakan di atas. Kemudian ternyata bahwa Popper sebenarnya mengakui posisi
Hume terhadap masalah ini.7 Solusi yang diajukan Popper terkait dengan masalah
yang berbeda, yaitu masalah apakah pengalaman masa lampau memberikan
justifikasi untuk mengenakan nilai kebenaran (yaitu., ‘benar’ atau ‘salah’)
pada sebuah teori ilmiah. Dengan tepat Popper berargumen bahwa sebuah teori
ilmiah (yang melibatkan prediksi tentang hal-hal yang terjadi di masa depan)
dapat ditunjukkan sebagai salah oleh pengamatan masa kini atau masa lampau.
Namun argumen Popper tidak memberikan alasan sama sekali untuk berpandangan
bahwa teori-teori ilmiah dapat ditunjukkan sebagai benar (atau kemungkiann
benar) dengan menggunakan pengamatan masa kini atau masa lampau. Malah Popper
percaya bahwa tidak ada alasan sama sekali yang bisa diberikan untuk
menjustifikasi masalah ini— dan karena itu dia tidak memberikan penghiburan
bagi para ilmuwan yang bertanya-tanya apakah mereka dapat menyimpulkan bahwa
teori-teori mereka yang berbasis empiris memiliki kemungkinan benar sejak Hume
mengemukakan keberatannya.
Justifikasi Pragmatis: Reichenbach dan Salmon
Tanggapan baru terhadap masalah Hume diajukan oleh Hans Reichenbach dan
baru-baru ini dipertahankan oleh Wesley Salmon.8 Reichenbach mengakui
keseriusan masalah ini dan menolak upaya-upaya induktif dan deduktif untuk
membuktikan prinsip induksi dan mengajukan pembenaran ‘pragmatis’ terhadap
induksi. Pada intinya, dia berargumen bahwa lebih bijaksana untuk bertaruh
berdasarkan penalaran induktif daripada menggunakan metode penalaran alternatif
dari pengalaman. Penalarannya adalah sebagai berikut; kalau kita memilih
menggunakan induksi, maka sekurang-kurangnya kita memiliki kesempatan untuk berhasil
(yaitu andaikata prinsip induksi benar); namun kalau kita memilih menggunakan
metode alternatif, maka kita tidak memiliki kesempatan untuk berhasil (yaitu
tidak tergantung apakah prinsip induksi benar atau tidak); karena itu kita dibenarkan
untuk memilih induksi.
Sejumlah besar kritikan dapat
dikemukakan kepada tanggapan Reichenbach terhadap masalah ini.9 Namun kelemahan
fatal dari pembenaran pragmatis adalah bahwa tanggapan tersebut hanyalah
pembenaran pragmatis dan bukan pembenaran epistemik. Maksudnya, walaupun
jawaban seperti ini mendorong kita untuk menggunakan strategi tertentu (yaitu
bernalar secara induktif), jawaban itu tidak memberi indikasi tentang
kemungkinan keberhasilannya (yaitu apakah prinsip induktif benar). Karena itu,
tanggapan ini menderita masalah yang sama dengan Taruhan Pascal (Pascal’s
Wager) (yang mungkin mendorong kita untuk percaya pada Tuhan, namun kita tidak
lebih paham apakah Dia benar-benar ada atau tidak). Solusi yang sebenarnya
terhadap masalah ini memerlukan pembenaran epistemik — yaitu alasan untuk
percaya bahwa induksi dapat diandalkan — namun seberapapun cerdiknya solusi
Reichenbach tidak memberikan alasan tersebut.
Tanggapan Bahasa Biasa: Strawson
Walaupun banyak filsuf seperti misalnya Reichenbach yang mengakui bahwa masalah
induksi adalah masalah yang nyata dan mengakui bahwa tuntutan akan justifikasi
adalah sesuatu yang masuk akal dan penting, ada filsuf-filsuf lain berpendapat
bahwa menuntut justifikasi terhadap induksi adalah sesuatu yang tidak pantas —
atau bahkan lebih jelek dari pada itu. P. F. Strawson adalah salah satu dari
sekian filsuf yang berpendapat demikian.10 Strawson menggambarkan mereka yang
meragukan prosedur induktif sebagai orang yang meragukan apakah prosedur
induktif “layak/masuk akal” (yaitu dapat dibenarkan secara epistemis). Sebagai
tanggapan, Strawson berpendapat bahwa pemahaman kita tentang penggunaan kata
“layak/masuk akal” melibatkan gagasan kesesuaian dengan standar induktif (dalam
konteks kekinian). Karena itu, misalnya pada saat kita berkata bahwa satu teori
ilmiah tentang hukum alam “layak/masuk akal”, maka kita berkata
(sekurang-kurangnya) bahwa teori ilmiah itu mengambil kesimpulan umum
berdasarkan sejumlah hal yang diamati. Karena itu, pernyataan “induksi masuk
akal” adalah kebenaran analitik, dan orang yang skeptik terhadap induksi adalah
orang yang bingung layaknya orang yang bertanya, “Apakah hukum legal?” Namun
demikian, BonJour mencatat bahwa ada sesuatu yang keliru dalam tanggapan
Strawson terhadap masalah induksi, karena dalam tulisan yang sama dia juga
mengakui bahwa pernyataan “induksi akan terus berhasil” benar secara kontinjen
(andaikatapun benar), dan dengan demikian akan memberi kredensi kepada keraguan
mereka yang skeptis terhadap induksi. Hal ini menunjukkan bahwa kaum skeptis
dapat selalu merubah formulasi keraguan mereka untuk menghindari istilah
Strawson yang imun seperti “layak/masuk akal” dan “dibenarkan/justified”.
Andaikatapun Strawson benar bahwa
penggunaan sehari-hari kata “layak/masuk akal” melibatkan gagasan kesesuaian
dengan standar induktif, ketidakmemadaian upaya mengangkat fakta ini untuk
menjawab masalah induksi dengan jelas dapat dilihat dengan membandingkannya
dengan skenario analog berikut. Sebagai contoh, andaikan ada masyarakat dimana
khayalan dianggap sebagai cara yang tepat dan masuk akal untuk mencapai
kesimpulan tentang masa depan. Bagi masyarakat tersebut dengan penggunaan
bahasanya yang khas, pernyataan “khayalan masuk akal” akan benar secara
analitis; namun demikian kita berhak untuk mempertanyakan ketergantungan mereka
pada metode epistemis yang meragukan seperti itu. Demikian pula halnya, klaim
Strawson bahwa “induksi masuk akal” tidak dapat dibantah secara bermakna tidak
bertentangan sama seklai dengan kesimpulan skeptis Hume.
Pembenaran A Priori: BonJour Seharusnya sudah jelas dari diskusi
pada bagian sebelumnya bahwa tidak ada jawaban memuaskan terhadap masalah
induksi dari antara jawaban-jawaban yang didasarkan pada a posteriori atau
faktor linguistik. Laurence BonJour berpendapat bahwa hanya justifikasi a
priori terhadap induksi yang memberi harapan akan adanya solusi.11 BonJour
memberi tanggapan secara meyakinkan terhadap mereka yang secara prinsip menolak
justifikasi a priori sebelum mengemukakan skema yang menjadi dasar yang
memungkinkan dirumuskannya justifikasi a priori. Walaupun BonJour mengakui
bahwa tanggapannya jauh dari lengkap dan secara jujur mengemukakan kelemahan
tanggapannya, adalah sesuatu yang berguna untuk menyebutkan satu kesulitan
khusus yang dihadapinya. Hal penting bagi skema BonJour adalah gagasan bahwa
keteraturan obyektif di alam semesta (seperti yang diasumsikan oleh kesimpulan
induktif) dapat dibenarkan secara a priori dengan memahaminya sebagai sesuatu
yang memberikan penjelasan terbaik terhadap bukti induktif standar (yaitu
keteraturan yang diamati yang digunakan sebagai premis dalam argument
induktif). Namun demikian, dia mengakui bahwa klaim ini “tergantung pada apakah
konsepsi metafisik non Humen yang ketat/robust tentang regularitas objektif
(hubungan wajib yang objektif) masuk akal.”12 Dengan kata lain pandangannya
mempraanggapkan sebuah alam semesta dimana ada hubungan sebab akibat nyata dan
konstan (atau hampir konstan) antara objek-objek yang ada di dalamnya.
Walaupun BonJour mengakui kesulitan
untuk “menjelaskan secara langkap … konsepsi seperti itu”, dia tidak memandang
kesulitan tersebut “tidak terpecahkan”. Namun demikian, dia tidak memberi
indikasi bagaimana orang mulai berpikir untuk memberi justifikasi a priori bagi
perspektif metafisik yang sesignifikan itu. Patut dicatat bahwa hal ini bukan
masalah kecil. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa keraguan Hume tentang apakah
kita dapat mengetahui “keteraturan objektif yang syahih secara metafisik”lah
yang pada awalnya mendorong skeptisisme terhadap induksi. Justifikasi terhadap
kepercayaan kita akan adanya alam semesta yang memungkinkan diambilnya
kesimpulan induktif merupakan inti dari masalah induksi. Walaupun saya simpati
dengan desakan BonJour untuk mencari justifikasi a priori, saya harus
menyimpulkan bahwa jalan yang diusulkannya paling baik hanya membawa kita maju
sejengkal dalam jalan pendakian menuju pegunungan tinggi.
Kesimpulan
Dari pengamatan ini terbukti bawa
saat ini tidak ada jawaban yang memuaskan terhadap masalah induksi dari
perspektif sekuler. Lebih jauh lagi, pendekatan tertentu — yaitu pendekatan a
posteriori, pragmatis, dan linguistik — menderita ketidakmemadaian fatal. Hanya
solusi a priori yang tampaknya memadai, namun bahkan BonJour pun meninggalkan
kesenjangan terbesar tidak terjembatani. Tampaknya jelas bahwa setiap solusi
yang sukses/memadai pada titik tertentu harus tergantung pada pengetahuan a
priori yang universal tentang seluk beluk alam semesta. Namun (dengan meminjam
kata-kata Pemazmur) kita tidak dapat tidak mengakui bahwa “terlalu ajaib bagiku
pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya”. Tentu saja,
satu Pribadi yang baginya pengetahuan a priori tentang seluk beluk alam semesta
dapat dicapai (dan bahkan mungkin esensial) merupakan sekutu yang tidak
terinilai dalam kekalutan epistemologis seperti ini — khususnya kalau Pribadi
tersebut memiliki kecenderungan untuk menyatakan diri-Nya dan alam semesta-Nya.
Namun seberapa tinggi harga yang bersedia dibayar para filsuf untuk
menghancurkan terorisme keraguan terhadap metode induktif?
Catatan
1. Hume (1748), IV. ii. 32.
2. Russell (1967).
3. Frederick L. Wills, ‘Will the Future Be Like the Past?’, dalam Flew (1953), hal. 32-50.
4. Max Black, ‘Self-Supporting Inductive Arguments’, in Swinburne (1974), hal. 127-34. Cf. Black, Problems of Analysis (New York: Ithaca, 1954), bab 11.
5. Bonjour (1998), hal. 200-3.
6. Popper (1979), hal. 1.
7. Ibid., p. 7.
8. Wesley Salmon, ‘The Pragmatic Justification of Induction’, dalam Swinburne (1974), hal. 85-97.
9. See BonJour (1998), hal. 192-6.
10. See Strawson (1952), hal. 256-63. A. J. Ayer dan Paul Edwards telah menyerang masalah tersebut seperti yang dilakukan Strawson.
11. BonJour (1998), hal. 187-216.
12. Ibid., hal. 214-5.
Bibliografi
* Laurence BonJour, In Defense of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
* Antony Flew (ed.), Logic and Language: Second Series (Oxford: Blackwell, 1953).
* David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (first published in 1748).
* Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, rev. ed., 1979).
* Bertrand Russell, ‘On Induction’, in The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1967).
* P. F. Strawson, Introduction to Logical Theory (London: Methuen & Co. Ltd., 1952).
* Richard Swinburne (ed.), The Justification of Induction (Oxford: Oxford University Press, 1974).
Hak Cipta © James N. Anderson 2000
Sumber: http://www.proginosko.com/docs/induction.html
1. Hume (1748), IV. ii. 32.
2. Russell (1967).
3. Frederick L. Wills, ‘Will the Future Be Like the Past?’, dalam Flew (1953), hal. 32-50.
4. Max Black, ‘Self-Supporting Inductive Arguments’, in Swinburne (1974), hal. 127-34. Cf. Black, Problems of Analysis (New York: Ithaca, 1954), bab 11.
5. Bonjour (1998), hal. 200-3.
6. Popper (1979), hal. 1.
7. Ibid., p. 7.
8. Wesley Salmon, ‘The Pragmatic Justification of Induction’, dalam Swinburne (1974), hal. 85-97.
9. See BonJour (1998), hal. 192-6.
10. See Strawson (1952), hal. 256-63. A. J. Ayer dan Paul Edwards telah menyerang masalah tersebut seperti yang dilakukan Strawson.
11. BonJour (1998), hal. 187-216.
12. Ibid., hal. 214-5.
Bibliografi
* Laurence BonJour, In Defense of Pure Reason (Cambridge: Cambridge University Press, 1998).
* Antony Flew (ed.), Logic and Language: Second Series (Oxford: Blackwell, 1953).
* David Hume, An Enquiry Concerning Human Understanding (first published in 1748).
* Karl Popper, Objective Knowledge: An Evolutionary Approach (Oxford: Clarendon Press, rev. ed., 1979).
* Bertrand Russell, ‘On Induction’, in The Problems of Philosophy (Oxford: Oxford University Press, 1967).
* P. F. Strawson, Introduction to Logical Theory (London: Methuen & Co. Ltd., 1952).
* Richard Swinburne (ed.), The Justification of Induction (Oxford: Oxford University Press, 1974).
Hak Cipta © James N. Anderson 2000
Sumber: http://www.proginosko.com/docs/induction.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar